Rabu, 16 November 2011

Alur Pada Cerpen Kelas IX

Ke Solo, ke Njati
Alur :
a. Pengenalan :
Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal.
b. Konflik :
Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik.
c. Konflikasi :
1) Tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya.
2) Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela.
3) Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka.
4) Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini.
5) “Mbok kamu jangan pulang Lebaran. Tahun ini, anak-anak saya pada kumpul di sini.
6) “Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
d. Klimaks :
Wah, dengan uang apa? Uangnya yang terbanyak sudah habis dimakan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang sudah pada peyot semua.
e. Resolusi :
Pasti masih banyak kerjaan, pastinya.
f. Penyelesaian :
Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana ....”















Sinopsis :
Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Kemarin, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela. Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka. Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini. Sebelumnya majikannya meminta agar dia tidak pulang mudik, karena anak-anaknya akan berkumpul dan pasti banyak kerjaan. Tetapi dia tetap ingin pulang mudik karena sudah janji pada anak-anak. Sekarang, pada hari Lebaran kedua, mereka gagal lagi. Anak-anaknya sempat kecewa karena tidak jadi pulang mudik , tetapi ibunya menghibur dengan menjanjikan pergi ke Kebon Binatang. Tetapi ia bingung dengan uang apa. Uangnya yang terbanyak sudah habis dimakan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang sudah pada peyot semua. Tetapi dia lalu berpikir untuk pergi ke gedong, karena pasti masih banyak kerjaan. Setelah sampai di gedong ia bertemu majikannya dan langsung disuruh untuk menjalankan pekerjaannya di dapur.

















KD 8.1 Menuliskan kembali dengan kalimat sendiri cerita pendek
pernah dibaca.
















Nama : Astri Ekayanti
Kelas : IX-5
Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.
Kemarin, pada hari Lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannya memegang erat-erat anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Dengan sigap dikibaskannya tangannya menangkis tangan yang ingin menggapai tasnya, dan dengan kegesitan yang sama tangannya yang sebelah melepaskan pegangan anak-anaknya untuk memungut mainan anaknya yang jatuh di tanah. Bersamaan dengan itu orang-orang di belakangnya mendapat kesempatan untuk menyisihkan dia dan anak-anaknya terlempar ke pinggir. Kalau kernet bis yang berdiri di dekatnya tidak sigap menahan tubuhnya, pastilah dia dan anak-anaknya sudah tercampak di tanah.
Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela. Anak-anaknya berhenti menangis sesudah dibelikan teh kotak dan sebungkus kerupuk chiki. Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bis yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.
“Bu, kita jadi mudik ke Njati, ya Bu ?” anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.
“Wah, nampaknya susah, Ti. Lihat tuh penuhnya orang.”
“Kita nggak jadi mudik, ya, Bu.”
“Besok kita coba lagi, ya ?”
Itulah keputusannya kemarin. Anak-anaknya pada menggerutu dan mau menangis.
“Sekarang kita mau ke mana, Bu ?”
“Ya, pulang, Ti.”
Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah berapa kali lipat daripada biasa. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.
Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal. Suaminya, yang semasa hidup adalah buruh bangunan pada sebuah perusahaan pemborong, meninggal kira-kira tiga tahun yang lalu. Dia meninggal tertimpa dinding yang roboh. Untunglah perusahaan cukup baik hati dan mau mengurus pemakamannya dan memberi santunan sekadarnya.
Tetapi, sesudah itu, hidup terasa lebih berat dan getir. Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka. Apalagi Ti, anak sulungnya itu, sudah harus sekolah.
Hari demi hari dijalaninya dengan kedatangan dan kebosanan, tetapi, entah bagaimana, dia sanggup juga mengikutinya. Tahu-tahu, ajaib juga, tabungannya yang dikumpulkannya dari sisa dan persenan dari sana-sini terkumpul agak banyak juga selama tiga tahun itu. Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini. Anak-anaknya belum pernah kenal Njati dan embah-embahnya serta sanak saudaranya yang lain. Sudah waktunya mereka kenal dengan mereka, pikirnya. Juga desa mungkin akan memberikan suasana yang lebih menyenangkan, pikirnya lagi. Setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta. Maka diputuskannyalah untuk nekat pulang Lebaran tahun ini.
“Mbok kamu jangan pulang Lebaran. Tahun ini, anak-anak saya pada kumpul di sini. Banyak kerjaan.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
“Kalau kamu tidak mudik dan tetap masuk pasti dapat persen dari tamu-tamu. Ya, tidak usah pulang.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
Dengan kemantapan tekad begitulah dia memutuskan untuk mudik. Anak-anaknya mulai diiceriterai tentang Njati, sawah-sawahnya, kerbau dan sapinya, bentuk-bentuk rumah di desa. Juga tentang embah-embahnya yang sudah pada memutih rambutnya. Juga tentang kota-kota yang bakal mereka lewati, yang akan dapat mereka lihat sekilas-sekilas dari jendela bis yang akan membawa mereka.
“Waduh, kota-kota mana saja itu, Bu ?”
“Wah, banyak. Mungkin Cirebon, mungkin Purwokerto, mungkin lewat Semarang, pasti Magelang, pasti Yogya, Solo, terus menuju Njati dan Wonogiri.”
“Waduh. Yang paling bagus kota mana, ya, Bu.”
“Wah, embuh. Mestinya, ya, Solo.”
“Waa, kita mau lihat Solo, Dik. Solo, Solo, Solo.”
“Solo, Solo, Solo ....”
Dia berhenti termenung. Anaknya yang kecil sudah tidur dengan pulas di tempat tidur. Kakaknya sudah bersiap juga untuk menyeruak menggeletak di samping adiknya. Ditatapnya muka anak-anaknya sambil juga merebahkan tubuhnya berdesakan dengan anak-anak mereka.
“Jangan terlalu kecewa, ya, Ti. Besok kita coba lagi. Kita pasti akan ke Njati. Dan juga pasti lihat Kota Solo.” Dilihatnya anaknya mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan setengah mengantuk dia mengucap, “Solo, Solo, Solo ....”

Itu kemarin, pada hari Lebaran pertama. Sekarang, pada hari Lebaran kedua, mereka gagal lagi. Kemungkinan itu bahkan lebih tidak ada lagi. Karcis yang dibelinya dari calo, seperti kemarin, memang sudah di tangan. Tetapi, orang-orang itu kok malah makin jauh lebih banyak dari kemarin. Bahkan lebih beringas. Dia dan anak-anaknya dengan genteyongan barang mereka seperti kemarin, ditarik, didesak, digencet, sehingga akhirnya tersisih jauh ke pinggir lagi. Satu, dua bis dicobanya. Gagal lagi. Orang masih sangat, sangat banyak dan kuat, untuk dapat ditembus. Dan, akhirnya, dengan berdiri termangu di pinggir-pinggir warung, dilindungi kain terpal, di bawah hujan, mereka melihat bis terakhir ke Wonogiri berangkat.
“Yaa, kita nggak jadi betul ke Njati, ya, Bu.”
Ibunya melihat anak-anaknya dengan senyum yang dipaksakan.
“Iya, Nak. Nggak apa, ya ? Tahun depan kita coba lagi.”
“Yaa.”
“Yaa.”
“Iya, dong. Ibu harus kumpul uang lagi, kan ?”
“Memangnya sekarang sudah habis, Bu ?”
Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.
“Masih, masih. Tapi, hanya bisa ke Kebon Binatang besok. Ke Njati tahun depan saja, ya ?”
Anak-anaknya diam. Hujan mulai agak reda. Dilihatnya hujan yang mereda itu agak menggembirakan anaknya.
“Yuk, yuk, kita lari keluar cari bajaj, yuk.”
Anak-anak itu mengangguk, kemudian mengikuti ibunya digandeng sambil berlari-lari kecil. Di dalam bajaj anak-anak mulai bernyanyi ciptaan mereka yang terbaru.
“Solo, Solo, Solo. Solo, Solo, Solo.”
Mereka tertawa.
“Njati, Njati, Njati. Njati, Njati, Njati.”
Mereka tertawa lagi, mungkin senang bisa menciptakan lagu. Ibunya ikut senang juga melihat anak-anaknya tidak menangis atau merengek-rengek. Dia ingat akan janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka ke Kebon Binatang. Wah, dengan uang apa? Uangnya yang terbanyak sudah habis dimakan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang sudah pada peyot semua. Tinggal lagi sisa untuk beberapa hari. Wah. Tidak apa, pikirnya. Uang itu cukup untuk ongkos ke Kebon Binatang. Saya akan ke gedong malam ini, pikirnya. Pasti masih banyak kerjaan, pastinya. Siapa tahu tamu-tamu belum pada pulang dan banyak persenannya, harapnya. Di kamar sewaannya, anak-anaknya segera ditidurkannya dan sekali lagi dibisikannya janjinya untuk ke Kebon Binatang besok.
“Lekas tidur. Besok kita ke Kebon Binatang.”
“Asyik, asyik, asyik.”
“Ibu pergi sebentar ke gedong, ya? Baik-baik di rumah, ya? Tidur.”
“Gajah, gajah, gajah. Jrapah, jrapah, jrapah....”
“Ssst, tidur.”
Ibunya dengan tersenyum menutup pintu. Tetapi, waktu di luar, dia dengar anak-anaknya menyanyi yang lain lagi.
“Solo, Solo, Solo. Njati, Njati, Njati ....”
Ibunya menggigit lagi bibirnya sejenak. Kemudian dengan pasti melangkahkan kakinya.
Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu samping.
“To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana ....”